Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan liberalisasi ekonomi tahun 1870 oleh pemerintah kolonial Belanda mendorong munculnya peternakan swasta. Ini berkah bagi keluarga Oei Tiong Ham. Sebab, munculnya lahan pertanian baru membuat bisnis ayahnya, pabrik Kian Gwan yang menjalankan bisnis gula dan tembakau, semakin menguntungkan. Keuntungannya kemudian dialihkan untuk pendirian pabrik gula mandiri oleh ayahnya, Oei Tjien Sien. Ini menjadi titik balik dalam hidupnya setelah melarikan diri dari Tiongkok setelah pemberontakan Taiping (1850-1864 M)
Oei Tiong Ham yang mulai beranjak dewasa dititipkan ayahnya untuk mengelola Kian Gwan pada usia 19 tahun atau tahun 1885. Dari sinilah Oei Tiong Ham berkembang di bidang bisnis. Dalam buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022) disebutkan bahwa usaha pertama Kian Gwan di bawah manajemen Oei Tiong Ham adalah di bidang real estate.
“Para konglomerat China menilai investasi ini sangat aman dan menguntungkan,” tulis penulis buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022).
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Perlahan fokus bisnisnya beralih ke gula. Perubahan ini membawa Oei Tiong Ham ke puncak kesuksesan. Sejak akhir tahun 1880-an, Oei Tiong Ham meraup untung besar dengan memonopoli pasar gula di Jawa. Uang tunai yang terkumpul digunakan untuk membuka perkebunan tebu baru dan membangun pabrik gula dan opium.
Kesuksesan ini membuat Oei Tiong Ham mendirikan konglomerat sendiri bernama Oei Tiong Ham Concern (OTHC) pada tahun 1893. Kian Gwan kemudian difungsikan sebagai anak perusahaan OTHC.
Fokus utama OTHC adalah perdagangan gula, meski juga bermain di bisnis teh, karet, dan tembakau. Untuk mengatasi aturan diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah kolonial, Oei Tiong Ham memiliki strategi tersendiri yaitu modernisasi.
Langkah pertama adalah merombak struktur kepengurusan. Menurut Yoshihara Kunio dalam The Oei Tiong Ham Conglomerate (1992), ia meneruskan cara ayahnya menghilangkan sistem manajemen keluarga. Jika orang Cina biasa mewajibkan keluarganya untuk menjalankan perusahaan, dia tidak melakukannya.
Baginya, sistem seperti itu bisa mendatangkan malapetaka karena tidak semua anggota keluarga pandai berbisnis. Jadi, manajer perusahaan harus memiliki keterampilan. Untuk itu, Oei Tiong Ham mempercayakan pengelolaannya kepada para ahli, baik dari Eropa, Belanda, maupun China. Ia tak segan-segan mendatangkan tenaga ahli dari negara asalnya langsung untuk bekerja di OTHC.
“Karakter manajemen modern ini menjadi salah satu faktor berkembangnya perusahaan Oei Tiong Ham dalam ekonomi kolonial,” tulis Yoshihara Kunio.
Langkah selanjutnya adalah peremajaan. Semua pabrik gula OTHC adalah yang pertama menerapkan elektrifikasi di Hindia Belanda. Selain itu, ia juga terbuka untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan lain untuk memajukan bisnis cumi-cuminya. Salah satunya pengusaha tebu di Malang, Tio Tjin Tiong, dan konglomerat Singapura, Tjong A Fien dan Tjong Yong Hian.
Upaya ini terbukti berhasil. Pada tahun 1910-1911, ketika terjadi krisis di Hindia Belanda, bisnis gula OTHC tidak terpengaruh. Bahkan, semakin baik.
Dalam catatan Onghokham dalam buku Konglomerat Oei Tiong Ham (1992), pada 1911-1912 OTHC berhasil mengekspor 200 ribu ton gula. Pada saat yang sama, OTHC mengalahkan perusahaan Barat lainnya dalam perdagangan gula. Pasar gula Hindia Belanda dikuasai OTHC sebesar 60% atau 200 ribu ton. Keberhasilan ini jelas karena besarnya jaringan bisnis OTHC di dalam dan luar negeri.
Dompet Oei Tiong Ham tentu semakin tebal. Pada tahun 1925, kekayaannya mencapai 200 juta gulden. 1 gulden pada tahun 1925 dapat membeli 20 kg beras. Jika harga beras Rp 10.850/kg, kekayaan Oie Tiong Ham diperkirakan sekitar Rp 43,4 triliun.
[Gambas:Video CNBC]
(mfa/mfa)