Tidak ada yang tidak mengenal Blue Bird sekarang. Perusahaan taksi yang tercatat di bursa ini berhasil mengatasi berbagai tantangan zaman. Yang terbaru adalah adaptasi dari penghalang taksi online yang semula diprediksi akan menenggelamkan usahanya.
Namun orang salah, Blue Bird tetap bisa terbang, hidup dan berkembang, bahkan menjadi bagian dari tren itu sendiri. Saat ini, perseroan memiliki lebih dari 20 ribu armada dan 23 ribu karyawan yang beroperasi dalam 48 grup di 18 kota.
Pendapatan akan mencapai lebih dari Rp 2 triliun pada 2021, dengan laba kotor tercatat naik 48% menjadi hampir setengah triliun rupiah.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Padahal, semuanya berawal dari kisah seorang janda yang berjuang menghidupi anak-anaknya, setelah ditelantarkan oleh suaminya. Ia adalah Mutiara Siti Fatimah, janda pendiri sekaligus Dekan pertama Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. R. Djoko Soetono, SH.
Kehidupan ekonomi keluarga sederhana setelah Djoko meninggal pada tahun 1965, di mana ia mewarisi dua sedan bekas, hibah dari Universitas Indonesia dan sekolah polisi. Namun Djoko meninggalkan istri yang tangguh, Mutiara, dan anak-anaknya Chandra Suharto Djokosoetono dan Purnomo Prawiro
Sepeninggal suaminya, Mutiara, perempuan kelahiran Jawa Timur, pada Oktober 1923 pindah mengajar, dari sebelumnya di UI, ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Awalnya adalah pasangan akademisi, Mutiara lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1953 dan langsung menjadi staf pengajar di sana, pernah belajar di Rechtshogeschol, Utrecht, Belanda.
Keluarga yatim piatu ini bergumul dengan biaya hidup dan pendidikan selama tiga generasi. Awalnya si sulung dan bungsu naik bemo menuju Harmoni-Kota. Selain itu, selama bertahun-tahun beroperasi sebagai taksi tanpa izin atau ‘penyimpanan’. Tempatkan selebaran, dan bagikan tugas. Chandra sebagai operator telepon, dan Purnomo sebagai sopir.
Jumlah armada taksi berangsur-angsur bertambah melalui lobi Mutiara dalam arak-arakan yang dihadiri janda-janda pejuang dengan skema investasi dengan hak pakai hasil pakai mobilnya. Taksi yang diberi nama Golden Bird itu kemudian dikenal dengan nama sopirnya, Chandra Taksi, sebagai mobil sewaan untuk wartawan dan tamu dari luar negeri.
Izin taksi resmi beberapa kali ditolak karena latar belakang Mutiara yang tidak meyakinkan. Janda dan dosen, ditambah sama sekali tidak berpengalaman di bidang transportasi, kecuali taksi gelap. Ia baru bisa mencabut izin itu setelah mengumpulkan belasan proposal dari hotel dan beberapa klien ternama. Gubernur DKI Ali Sadikin kemudian memberinya izin.
Dengan lembar kebenaran, masalah tidak dapat diselesaikan dengan segera. Lisensinya sendiri tidak bisa ‘disekolahkan’ ke bank karena reputasi Mutiara masih nol. Karena itu, ia memutuskan untuk menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya di Jalan HOS Cokroaminoto nomor 7, Jakarta Pusat sebagai jaminan, yang kemudian dijadikan kantor.
Kabarnya, Mutiara akhirnya bisa menemukan kerja sama yang lebih menguntungkan dengan Udamex, importir mobil Holden dari Australia untuk mengakuisisi 25 unit mobil Holden Torana. Pada Mei 1972, PT Sewindu Taksi milik Mutiara mulai beroperasi, bersaing secara resmi dengan lima perusahaan bus yang ada.
Chandra dan Purnomo mengaku kerap diabaikan oleh perusahaan taksi ternama saat itu, seperti Gamya dan Morante. Namun, pelayanan yang memuaskan membuat mereka disukai oleh hotel.
Mutiara menceritakan betapa senangnya dia dengan cerita fiksi tersebut. Diantaranya adalah kisah seorang gadis yang membutuhkan. Saat gadis itu berdoa, Tuhan mengiriminya burung biru, burung biru. Ketika akhirnya mendapat izin, Mutiara menggunakan Blue Bird untuk taksinya. “Karena saat itu saya seperti gadis dalam dongeng,” ujarnya.
Setelah 28 tahun membangun dan meninggalkan pengusaha taksi jauh di belakang, Mutiara meninggal dunia pada tahun 2000. Perempuan murah senyum ini pernah menduduki jabatan di Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta, Perhimpunan Penguasa Wanita Indonesia, dan juru gambar polisi wanita di Indonesia.
Setelah kematiannya, Chandra menjabat sebagai komisaris utama dan Purnomo diberi posisi sebagai Direktur Utama. Sekarang mereka sedang mempersiapkan generasi ketiga – anak dari Chandra dan Purnomo. Dengan berbagai tantangan yang berbeda, seperti masalah tarif taksi dan munculnya pesaing baru dalam beberapa tahun terakhir, seperti Express, Putra, Kosti Jaya, Golden, KPI, dan Tifanni.