Jakarta, CNBC Indonesia– Warga Kampung Enggos, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Petronela (41) mendaur ulang sampah menjadi kerajinan tangan. Upaya ini dilatarbelakangi oleh kepedulian Petronela terhadap sampah yang berserakan di sekitar kawasan konservasi hutan mangrove di desanya.
Ini dimulai pada tahun 2005 ketika ia menjadi anggota kelompok penghijauan mangrove di kawasan konservasi. Kelompok ini bertanggung jawab untuk menanam dan menjaga kebersihan lingkungan.
“Sampah di Enggos banyak. Lalu saya lihat sampahnya, saya tertarik. Saya yakin sampah ini bisa menghasilkan sesuatu,” kata Petronela dalam keterangannya, dikutip Selasa (27/12/2022).
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Ia menjelaskan, bahan limbah yang dibuat menjadi kerajinan tangan, berupa sampah plastik, botol plastik, kayu, kawat dan kabel. Sisa-sisa telah bekerja sama dengan kerang dan aksesoris Papua.
“Saya bisa membuat lampion dari sendok plastik bekas. Untuk sisa kulit, saya bisa membuat boneka, pot bunga, dan berbagai kerajinan tangan dari sisa lainnya,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Petronela membentuk kelompok usaha IBAYAUW pada tahun 2019. Kelompok usaha ini mengkoordinir ibu-ibu di lingkungannya yang juga memproduksi kerajinan tangan dari bahan limbah.
“Saya menggunakan potensi untuk dikembangkan. Saya merasa terpanggil untuk membawa perempuan-perempuan ini produktif berbisnis dan tidak bergantung pada suami,” ujarnya.
Sebagai ketua kelompok usaha, beliau bertanggung jawab untuk menampung, memantau dan mencari mitra eksternal untuk alat dan bahan kerajinan. Dalam kelompok usaha beranggotakan 15 orang ini, Petronela juga mengajak ibu-ibu pensiunan untuk bergabung.
Sedangkan sampai saat ini kelompok usaha IBAYAW mampu memproduksi berbagai produk kerajinan seperti topi, anting, kalung, gelang, gorden, jepit rambut, pot bunga, dll. Dari segi harga, kerajinan harganya mulai dari Rp 10.000 hingga yang termahal Rp 300 ribu untuk topi besar, gorden, dan pot bunga.
Petronela mengatakan, selama ini kelompok usaha IBAYAW telah menerima bantuan bakti sosial BRI kepada pemerintah desa. Biasanya bantuan tersebut tidak berupa uang tunai, melainkan alat dan bahan yang diperlukan.
“Kalau uang yang diberikan digunakan untuk hal lain, sudah sewajarnya kita hanya bisa menggunakan bahan dan alat saja,” ujarnya.
Sedangkan bantuan modal untuk kelompok usaha diperoleh dari BRI.
Petronela mengungkapkan banyak tantangan yang dihadapi selama menjalankan kelompok usaha IBAYAW, salah satunya pemasaran. Untuk memasarkan produknya, mereka harus menunggu event-event besar, seperti festival atau bazar atau event lainnya.
Sedangkan penjualan melalui media sosial masih kurang diminati. Hal ini dikarenakan produk tersebut belum memiliki merek sehingga calon pembeli masih ragu.
Namun, untuk saat ini, Petronela mengaku sudah mengurus izin usaha kelompok usaha IBAYAW. Hasil kerajinan kelompok usaha IBAYAW juga sudah dipasarkan di luar Papua.
“Ada orang dari Jawa pernah minta dibuatkan topi khas Papua. Teman-teman di Jawa mau pakai aksesoris Papua untuk manggung,” ujarnya.
Alhasil, dari penjualan produk kerajinan tersebut, kelompok usaha IBAYAW mampu menghasilkan pendapatan saku hingga Rp 15 juta saat ada momen besar.
Sebagai informasi, Petronela merupakan nasabah BRI dengan pinjaman KUR sebesar Rp 25 juta dan telah mendapatkan pembinaan dari BRI. Keanggotaannya sebagai nasabah BRI memudahkan kelompok usahanya untuk mendapatkan bantuan dari BRI.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Buah Pemberdayaan UMKM BRI, Kopi Takengon Aceh Tiba di AS
(dpu/dpu)